SMPN 2 Panca Rijang Banjir Peminat
- Sabtu, 18 Mei 2013 02:51
ibrahim/ajpnews
SMPN 2 Panca Rijang Kabupaten Sidrap.
Pada tahun ajaran ini, SMPN 2 Panca Rijang akan menerima siswa baru yang ditempatkan pada 6 kelas rombongan belajar (rombel).
Darwis salah satu orang tua siswa kepada Ajatappareng News mengaku, sengaja lebih cepat mengambil formulir agar mendapat kesempatan lebih besar.
"Kami tentu berharap, anak kami bisa diterima di SMPN 2 Panca Rijang untuk melanjutkan studinya. Pertimbangan kami, karena sekolah ini mengoptimalkan pembinaan ilmu dan pengetahuan pendidikan yang lebih maksimal, sehingga ke depan wawasan anak kami tentang pendidikan, lebih luas," ungkapnya.
Hal senada dikatakan Andi Ramdhan, orang tua siswa lainnya. Dia mengatakan, SMPN 2 Panca Rijang diketahuinya memiliki keaktifan dalam Proses Belajar Mengajar (PBM), selain kegiatan ekstrakurikule yang terus digenjot pihak sekolah.
"Kami ingin melanjutkan pendidikan kesekolah ini dengan harapan bisa menjadi anak-anak yang berprestasi dan bisa mengikuti setiap lomba-lomba baik ditingkat kabupaten maupun di tingkat provinsi," terangnya.
Terpisah, Wakil Kepala Sekolah (Wakasek) SMPN 2 Panca Rijang, Lukman S.Pd M.Si mengatakan, bagi calon siswa yang nantinya akan diterima, akan dilengkapi dengan pakaian seragam bercorak batik, serta perlengkapan alat tulis, secara gratis.
"Penggratisan seragam dan alat tulis ini, merupakan inisiatif para guru dan seluruh pihak dalam lingkup SMPN 2 Panca Rijang," jelasnya.
Sementara Kepala SMPN 2 Panca Rijang, Sutomo S.Pd M.Si mengatakan, pihaknya berharap penggratisan seragam dan alat tulis yang diterapkan pihaknya dapat lebih meringankan beban orang tua siswa, sekaligus bentuk dukungan pihak sekolah terhadap para siswa agar lebih termotivasi mencetak prestasi.
Selain itu, katanya lagi, diharapkan pula terjadi peningkatan mutu pendidikan di sekolah yang dipimpinnya, dalam rangka mewujudkan visi dan misi SMPN 2 Panca Rijang, menjadi sekolah unggul, berprestasi, berbudaya yang berbasis Iman dan Taqwa (IMTAQ) dan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (IPTEKS).
"SMPN 2 Panca Rijang, terus berupaya mengoptimalkan kegiatan belajar mengajar, memberdayakan potensi dan bakat siswa, memberdayakan komite dan pengambilan keputusan secara partisipatif, demi pengembangan pelajar dalam meraih prestasi," tandasnya. (him)
Sumber: http://ajatapparengnews.com/index.php/pilar-pendidikan/3633-smpn-2-panca-rijang-banjir-peminat
Azan pertanda waktu shalat Lohor sementara berkumandang dari menara masjid, ketika kami tiba di Dusun Dea, Desa Sipodeceng, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), siang itu, untuk melihat langsung tempat pembuatan kecapi.
Usai salat Lohor, seorang pria berusia 57 tahun, yang masih terlihat enerjik bergegas menemui kami di kolong rumah yang merupakan bengkel tempat pembuatan kecapinya. Kegiatan pembuatan kecapi ini merupakan salah satu pengrajin binaan Balai Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal (BPPNFI) Regional V Makassar.
Berbicara tentang kecapi dengan pria yang berprofesi sebagai guru itu, perbincangan mengalir lancar dalam suasana santai. Meski baru sekitar lima tahun menekuni pembuatan alat musik tradisional itu, H Nurdin sudah sangat piawai menjelaskan seluk beluk pembuatan kecapi.
Itu tidak mengherankan karena selain mampu membuat kecapi, H Nurdin juga sangat piawai memainkan alat musik petik bersenar dua itu. Kemampuannya memainkan kecapi diperlihatkan saat itu juga dibantu putra keduanya yang juga sudah mampu mewarisi keahlian sang ayah membuat dan memainkan kecapi.
Meski membuat kecapi hanya dilakukan secara sambilan sepulang mengajar di SMP Negeri 3 Baranti, Kabupaten Sidrap, namun H Nurdin masih cukup produktif. Dalam sepekan pria berputra empat itu bisa menyelesaikan lima buah kecapi siap jual. Apalagi, nyaris tak ada kecapi yang tinggal di bengkelnya karena setiap selesai sudah ada calon pembelinya.
Untuk membuat kecapi, H Nurdin mencari bahan bakunya di sekitar hutan dusun tempatnya bermukim. Beruntung alam masih menyiapkan pohon kecapi yang dalam bahasa lokal disebut Settung, meski saat ini pohon tersebut sudah mulai langka. Jenis kayu ini menurut H Nurdin sangat baik, karena struktur kayunya sangat teratur sehingga mudah dibentuk.
Selain pohon kecapi, menurut H Nurdin, pohon nangka juga bisa menjadi bahan baku alternatif. Hanya saja jarang dipakai karena jenis kayu ini kurang bagus karena sulit dibentuk menjadi kecapi dengan kualitas suara yang benar-benar prima.
Soal pemasaran kecapi, H Nurdin mengaku tidak kesulitan. Nyaris tidak ada kecapi yang tertinggal di bengkelnya. Itu karena konsumennya berdatangan dari berbagai daerah sekitarnya, sebab para pengguna kecapi lebih memilih membeli alat tersebut ketimbang membuatnya sendiri.
Apatah lagi, kecapi buatan H Nurdin sudah diketahui kualitasnya. Sehingga Sanggar Seni Sulota milik H Nurdin seakan menjadi pusat pembuatan kecapi. Khususnya untuk memenuhi kebutuhan peminat alat musik tradisional Sulsel tersebut.
Membuat kecapi mulai dilakoni H Nurdin sekitar 1985 silam, ketika bergabung dalam kelompok usaha kegiatan seni setempat. Dia bergabung dengan kelompok seni tersebut sebagai salah satu cara dia ikut melestarikan salah satu budaya seni lokal Sulsel.
Seiring perjalanan waktu dan makin populernya kecapi buatan H Nurdin ke berbagai daerah, pemerintah pun menaruh perhatian terhadap upayanya yang dinilai mampu melestarikan alat tradisional yang sudah tidak banyak diliring orang itu. Dan bantuan pun mulai turun.
“Saya pernah mendapat bantuan dari pemerintah sebesar Rp 27 juta,”kata H Nurdin dengan wajah sumringah. Bantuan itu menurutnya digunakan membeli peralatan yang masih serba sederhana dan tradisional.
Tentang bantuan yang diberikan pemerintah itu, Kepala Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Kabupaten Sidrap, Muh Nur, yang mendampingi kami ke lokasi tersebut, mengatakan, itu dilakukan sebagai salah bentuk pembinaan yang dilakukan pemerintah.
Menurut Nur, pemerintah daerah Sidrap, melalui SKB terus melakukan pembinaan terhadap pengembangan pembuatan kecapi yang dilakukan H Nurdin. Bahkan, dalam waktu dekat ini, H Nurdin akan tampil dalam pameran di Jakarta, untuk mempertunjukan cara membuat kecapi sekaligus memainkannya.
“Pembinaan terus kami lakukan agar salah satu alat kesenian tradiosional ini tetap terpelihara. Apalagi, selain mampu membuat kecapi, H Nurdin juga piawai memainkannya,”kata Nur.
Selain membuat kecapi, H Nurdin mendirikan Sanggar Seni bernama Sulota. Kelompok ini sering tampil menghibur dalam berbagai acara. Baik acara yang diselenggarakan warga Sidrap dan sekitarnya maupun kegiatan yang dilakukan pemerintah daerah setempat.
Kecapi buatan H Nurdin bisa laku terjual seharga Rp 175 ribu per buah. Itu untuk jenis kecapi standar. Tetapi jika kecapinya sudah dilengkapi dengan peralatan yang bisa nyambung ke sound harganya sudah menjadi Rp 350 ribu perbuah.
Dengan menjual kecapi standar saja, dengan produksi rata-rata lima unit per buah maka H Nurdin bisa memperoleh penghasilan tambahan sekitar Rp 3,5 juta per bulan. Tetapi jika kecapinya sudah aksesoris maka penghasilannya bisa lebih besar lagi.
Oleh : Muhammad Wildan
Source : http://www.paudni.kemdiknas.go.id/
Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (EYD: Suwardi Suryaningrat, sejak 1922 menjadi Ki Hadjar Dewantara, EYD: Ki Hajar Dewantara, beberapa menuliskan bunyi bahasa Jawanya dengan Ki Hajar Dewantoro; lahir di Yogyakarta, 2 Mei 1889 – meninggal di Yogyakarta, 26 April 1959 pada umur 69 tahun[1]; selanjutnya disingkat sebagai "Soewardi" atau "KHD") adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.
Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Bagian dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani, menjadi slogan Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia. Namanya diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah tahun emisi 1998.[2]
Ia dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-2 oleh Presiden RI, Soekarno, pada 28 November 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959)
Masa muda dan awal karier
Soewardi berasal dari lingkungan keluarga Keraton Yogyakarta. Ia menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar Eropa/Belanda). Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar, antara lain, Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial.
Aktivitas pergerakan
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda untuk menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa) pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kongres pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya.
Soewardi muda juga menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu organisasi multietnik yang didominasi kaum Indo yang memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda, atas pengaruh Ernest Douwes Dekker (DD). Ketika kemudian DD mendirikan Indische Partij, Soewardi diajaknya pula.
[sunting] Als ik eens Nederlander was
Sewaktu pemerintah Hindia Belanda berniat mengumpulkan sumbangan dari warga, termasuk pribumi, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Perancis pada tahun 1913, timbul reaksi kritis dari kalangan nasionalis, termasuk Soewardi. Ia kemudian menulis "Een voor Allen maar Ook Allen voor Een" atau "Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga". Namun kolom KHD yang paling terkenal adalah "Seandainya Aku Seorang Belanda" (judul asli: "Als ik eens Nederlander was"), dimuat dalam surat kabar De Expres pimpinan DD, tahun 1913. Isi artikel ini terasa pedas sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda. Kutipan tulisan tersebut antara lain sebagai berikut.
"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya".
Beberapa pejabat Belanda menyangsikan tulisan ini asli dibuat oleh Soewardi sendiri karena gaya bahasanya yang berbeda dari tulisan-tulisannya sebelum ini. Kalaupun benar ia yang menulis, mereka menganggap DD berperan dalam memanas-manasi Soewardi untuk menulis dengan gaya demikian.
Akibat tulisan ini ia ditangkap atas persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg dan akan diasingkan ke Pulau Bangka (atas permintaan sendiri). Namun demikian kedua rekannya, DD dan Tjipto Mangoenkoesoemo, memprotes dan akhirnya mereka bertiga diasingkan ke Belanda (1913). Ketiga tokoh ini dikenal sebagai "Tiga Serangkai". Soewardi kala itu baru berusia 24 tahun.
Dalam pengasingan
Dalam pengasingan di Belanda, Soewardi aktif dalam organisasi para pelajar asal Indonesia, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia).
Di sinilah ia kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi dengan belajar ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akte, suatu ijazah pendidikan yang bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga pendidikan yang didirikannya. Dalam studinya ini Soewardi terpikat pada ide-ide sejumlah tokoh pendidikan Barat, seperti Froebel dan Montessori, serta pergerakan pendidikan India, Santiniketan, oleh keluarga Tagore. Pengaruh-pengaruh inilah yang mendasarinya dalam mengembangkan sistem pendidikannya sendiri.
Taman Siswa
Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan September 1919. Segera kemudian ia bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli 1922: Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa. Saat ia genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa.
Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. ("di depan menjadi teladan, di tengah membangkitkan semangat, dari belakang mendukung"). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah Perguruan Tamansiswa.
Pengabdian di masa Indonesia merdeka
Dalam kabinet pertama Republik Indonesia, KHD diangkat menjadi Menteri Pengajaran Indonesia (posnya disebut sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan) yang pertama. Pada tahun 1957 ia mendapat gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari universitas tertua Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Atas jasa-jasanya dalam merintis pendidikan umum, ia dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan Nasional (Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28 November 1959).
Ia meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 26 April 1959.
Source : http://id.wikipedia.org/
JANJI politik berupa program pendidikan gratis pasangan Syahrul Yasin Limpo dan Agus Arifin Nu'mang nyatanya sangat ampuh. Di pemilihan gubernur Sulsel 2007 silam, pasangan ini akhirnya ke luar sebagai pemenang berkat program yang disandingkan dengan kesehatan gratis.
Sejak itu, harapan masyarakat untuk bisa mendapatkan pendidikan secara gratis namun tetap berkualitas membuncah. Namun, fakta tetap saja kadang berbeda dari kenyataannya. Dan, Fara Dipa Ishak, salah satu anak yang mesti kecewa dengan realita. Ternyata pendidikan gratis itu mahal dalam realita.
Anak pasangan M Ishak Syam dan Yuli itu terlihat murung di salah satu ruangan di kantor balaikota Makassar. Saat itu, Selasa, 26 Juli ketika Fara bergabung bersama warga lainnya yang melakukan demonstrasi ke balaikota. Anak kelahiran Makassar 28 Juli 1999 itu sedang dilanda bimbang, mungkinkah ia masih mampu melanjutkan pendidikannya. Ia yang hanya anak buruh harian dengan penghasilan tak menentu dan tinggal di bawah kolong rumah yang disewa orang tuanya harus membayar Rp3 juta untuk bisa melanjutkan pendidikan di SMPN 29 Makassar.
"Fara dari SD Monginsidi 2 NEM-nya 8,15 tapi tidak lulus saat tes. Dia mau sekali sekolah, tapi kami dimintaki uang Rp3 juta. Dari mana uang sebanyak itu? Makanya saya mengurus surat keterangan tidak mampu. Tapi ternyata tetap tidak bisa. Saya tidak tahu untuk apa uang itu," ujar Yuli, ibu Fara sambil memangku anaknya.
Tapi pihak sekolah yang dikonfirmasi FAJAR membantah pengakuan Yuli dan warga serta mahasiswa yang mendampinginya mengadu ke balaikota. Pihak sekolah yang beralamat di Jalan A Mappayukki hanya menyebut angka Rp500 ribu.
Yuli sebenarnya ikut tes namun tak lulus di sekolah ini. Tapi belakangan terbongkar informasi bahwa masih ada jatah 16 siswa baru di sekolah itu. Awalnya sekolah hanya mengumumkan menerima 224 siswa baru. Belakangan diketahui jika kuota SMP ini 240. Ini diakui pihak sekolah ke FAJAR.
Di dunia pendidikan sendiri jalur masuk untuk 16 siswa ini kerap disebut "lewat jendela" atau jalur tak resmi. Ke 16 siswa dimasukkan melalui kebijakan kepala sekolah. Yang sangat disayangkan kemudian sebab untuk mengisi kursi ini diduga ada permainan uang. Seperti dibeber Yuli, per orang minimal Rp3 juta.
Rabu, 27 Juli, FAJAR mendatangi langsung sekolah yang dipimpin oleh Mirna Kalapati sebagai kepala sekolah. Sayangnya, kepala sekolah sedang tidak berada di tempat. Ia menghadiri pertemuan kepala-kepala sekolah di Kabupaten Bone.
FAJAR diarahkan ke Humas SMP 29 Makassar, Rihul Janna. Di ruangan OSIS Rihul pun menjelaskan duduk permasalahan yang menimpa sekolah serta tudingan permainan uang.
Rihul memulai penjelasannya dengan mengatakan bahwa memang betul ada pembayaran yang dikenakan bagi setiap siswa yang masuk melalui jalur tak resmi (letjen) yakni sebesar Rp500 ribu. Uang tersebut menurut Rihul adalah untuk pembelian baju seragam berupa, sepasang baju putih biru, baju olahraga, baju batik, topi dan aksesoris lainnya. Tujuannya menyeragamkan pakaian siswa dan membantu orang tua memperoleh pakaian-pakaian tersebut.
"Yang diberitakan Rp3 juta itu tidak benar, sebab hanya Rp500 ribu. Dan itupun tidak kami paksakan. Kalau sekiranya para orang tua tidak mampu, bisa mencicil pembayarannya , atau bahkan membelinya sendiri-sendiri di toko pakaian seragam," ungkap Rihul.
Soal 16 kursi yang belakangan ribut, Rihul mengatakan itu kebijakan sekolah. Kepala sekolah mengambil keputusan menambah 16 siswa lagi setelah melihat bahwa setiap kelas masih bisa dimaksimalkan. Itu juga agar siswa yang ingin bersekolah bisa diakomodasi.
"Memang pada awalnya kami mengumumkan 224 siswa. Tetapi ternyata, melihat jumlah bangku yang ada, sekolah ini masih bisa menampung hingga 16 siswa lagi sehingga menjadi 240 siswa. Makanya kami mengambil kebijakan itu," terang perempuan paruh baya ini.
Untuk kasus Fara, wanita ini juga berusaha meluruskan. "Untuk kasus Fara terus terang tidak demikian adanya. Fara sebenarnya telah kami terima. Kami memang meminta uang sebesar Rp500 ribu seperti ketentuan, tetapi karena
orang tuanya mengaku tak mampu, maka kami menggratiskan Fara dengan syarat ia harus menunjukkan bukti surat keterangan miskin dari Camat," tambah Rihul.
Nah, surat keterangan miskin inilah yang mengawali polemik. Sebab bukannya surat keterangan miskin dari Camat yang datang tetapi seorang pria bernama Herman Hafid yang mengaku sebagai keluarga Fara.
"Tidak jelas apa motif pak Herman. Yang jelas, Fara itu telah kami terima. Kami hanya meminta surat keretangan miskin dari camat. Tetapi Herman hanya membawa surat keterangan miskin dari RT. Makanya kami tolak dan memberi kebijaksanaan untuk segera menggantinya. Tetapi kenyataanya Fara tidak pernah datang lagi, dan kami dituduh
menyelewengkan dana," urai Rihul Kesal.
Hingga saat ini pihak sekolah mengaku masih menunggu Fara untuk bersekolah di tempat itu. Pihak sekolah juga tidak akan membebankan pembayaran kepada Fara jika mampu membawa bukti surat keterangan miskijn dari camat.
"Surat keterangan miskin sebenarnya hanya sebagai persyaratan administratif. Gunanya, agar jika ada bantuan Jaringan Pengaman Sosial dari pemerintah, pihak sekolah mudah menunjukkan bukti tersebut dan anak yang kurang mampu dapat kembali mendapat bantuan. setiap tahunnya kami selalu mendapat JPS dari pemerintah, tidak banyak, hanya sekira 30 hinga 50 anak. Tapi kan lumayan," tandasnya.
Tapi Herman dan Yuli berkata sebaliknya. Mereka menegaskan memang telah dimintai uang masuk Rp3 juta. "Kalau saya dicap calo, mana buktinya. Jelas-jelas ini keluarga miskin yang tak mampu membayar yang ingin saya bantu. Bagaimana ia membayar saya kalau tinggalnya saja di kolong rumah dan kerja suaminya hanya buruh," tegas Herman
di sekretariat GPK di Veteran.
Sebenarnya kasus Fara ini hanya satu dari sekian banyak kasus yang menjadi bukti mahalnya pendidikan gratis.
Misalnya di beberapa sekolah terjadi jual beli pakaian hingga baju koko. Harganya mencekik. Jauh lebih mahal dari harga pasaran.
Tak hanya seragam sekolah, siswa dan orang tuanya juga dipusingkan dengan buku. Selain harganya mahal, buku paket juga terus berubah setiap tahunnya sehingga siswa baru tidak bisa meminjam milik kakak kelasnya. Meski pihak sekolah menegaskan tidak ada paksaan, tapi fakta di lapangan anak-anak dikondisikan untuk membeli. Sebab anak yang tidak memiliki buku paket akan ketinggalan lantaran tugas dari guru ada di buku dan guru tidak lagi menyalinnya di
papan.
Khusus buka cetak, FAJAR sempat ke sejumalh tokoh buku untuk membandingkan harga buku yang dijual pihak sekolah dengan di toko buku. Misalnya buku Penjas cetakan atau produksi Grafindo yang digunakan siswa kelas III di SMAN 21 harganya di toko buku Dunia Ilmu hanya Rp40 ribu. Sementara di sekolah dijual Rp63 ribu. Itu sesuai
informasi orang tua siswa.
Yang membuat pendidikan makin mahal adalah munculnya istilah bantuan dana pembangunan. Setiap tahun siswa dibebankan bantuan pembangunan. Kisaran angkanya Rp1 juta hingga Rp7 juta.
Di SMAN 7 dana pembangunan ini dipersoalkan. "Apakah pembangunan sekolah memang sudah tidak ditanggung pemerintah lagi sehingga dibebankan ke siswa. Kelihatannya komite sekolah sudah jadi alat memeras. Masa siswa baru harus bayar Rp3,7 juta," keluh orang tua siswa berinisial AL ke FAJAR.
Tapi pihak sekolah tak mau disalahkan. "Ada kesepakatan orang tua jadi tidak benar kalau dikatakan dipaksa," bantah Wakasek Urusan Humas SMAN 7, Irwan Amin.
Kadis Pendidikan Makassar, Mahmud BM mengatakan, persoalan bantuan dana pembangunan sifatnya bukan paksaan. Demikian pula dengan pembelian buku yang disiapkan sekolah.
Banyaknya persoalan di dunia pendidikan juga sudah disikapi dewan. Anggota Komisi B, Shinta Mashita Molina mengatakan mereka sudah memanggil kepala sekolah yang ada laporannya masuk ke DPRD. "Katanya itu sudah hasil rapat komite dan tidak ada pemaksaan. Makanya kita berharap kalau ada rapat komite orang tua datang dan bicara.
Jangan belakangan tidak setuju dan merasa dipaksakan. Kalau sudah ada keputusan tidak mungkin berubah," kata Shinta.
source : http://www.fajar.co.id/
SEKOLAH GRATIS, pendidikan bermutu dan terjangkau yang selama ini dikumandangkan pemerintah ternyata masih sebatas pepesan kosong. Tak mudah bagi anak-anak, remaja, dan pemuda mewujudkan impian masuk dalam jajaran siswa/mahasiswa yang diinginkan. Jangankan masuk SMA negeri favorit atau perguruan tinggi negeri (PTN), untuk mendapatkan tempat di salah satu sekolah dasar (SD) atau sekolah menengah pertama (SMP) yang dikatakan gratis, ternyata masih sebatas janji.
Jangan heran apabila di suatu sekolah SD, pengelola sekolah atau para pendidik dengan enteng berkata: "Jika orangtua atau wali murid tak ingin anak-anaknya desak-desakan di kelas, silakan cari sekolah lain. Kalau mau gratis, terimalah apa adanya." Ucapan itu cukup menyakitkan, tetapi itulah fakta. Bukan saja jauh di pedesaan, tetapi peristiwa desak-desakan di kelas kerap terjadi di seputar pusat pemerintahan, di Jabodetabek. Ruang kelas yang harusnya hanya diisi 40 murid dijejali 60 murid lebih.
Secara umum tidak mudah bagi masyarakat mendapatkan tempat bagi anggota keluarga mereka di SD dan SMP (negeri). Jika pun dapat, mutu sekolah tidak seperti diharapkan, itu pun tidak 100 persen gratis karena masih ada pungutan tidak resmi. Tak jarang para guru masih kerap memanfaatkan mencari tambahan dengan mengharuskan anak didik mengikuti les. Larangan mengadakan les di sekolah bukan hambatan.
Untuk SD, SMP, sekolah gratis di banyak daerah hanya sebatas "kulit". Program bantuan operasional sekolah (BOS) tak mampu menahan nafsu pengelola sekolah untuk tidak menarik bayaran. Apalagi di tingkat SMA, boleh dibilang tidak semua calon siswa bisa mendapatkan tempat. Selain karena alasan terbatasnya kursi, besaran pungutan juga makin tinggi, tak terjangkau oleh rata-rata rakyat Indonesia.
Tidak sulit mendapatkan bukti sekolah/bangku kuliah hanya untuk kalangan berduit. Betapa banyaknya calon murid/siswa harus menyerah, mencari sekolah lain (swasta) dengan pertimbangan asal sekolah, karena orangtua/walimurid tak mampu memenuhi uang/sumbangan sekolah di sekolah negeri.
Kehadiran sekolah berstatus rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) beberapa tahun terakhir, membuat dunia pendidikan makin jelas memisahkan antara si miskin dan si kaya. Temuan Indonesia Corruption Watch (ICW), baru-baru ini, membuktikan RSBI menjadi alasan bagi sekolah tertentu memungut biaya dalam jumlah besar tanpa pertanggungjawaban jelas, alias diselewengkan, seperti diduga terjadi di beberapa SMAN di Tambun (Jabar) dan Jakarta. Gilanya lagi, sebagian dana itu diindikasikan untuk memberikan gratifikasi bagi politikus dan petinggi dinas pendidikan daerah.
Di sektor perguruan tinggi peluang mendapatkan tempat bagi si miskin juga suatu keajaiban. Bantuan yang diberikan pemerintah pada siswa berprestasi dari keluarga kurang mampu hanya "lipstik". Otonomi kampus yang dianut PTN membuat mahasiswa/mahasiswi dari kalangan tidak mampu akhirnya mundur. Besaran sumbangan dari belasan juta rupiah hingga di atas seratus juta rupiah menjadi kendala utama. Bahkan calon siswa lewat jalur undangan (berprestasi) pun tak jarang terbentur masalah dana.
Alokasi dana pendidikan sebesar 20 persen yang disepakati pemerintah dan DPR tak lebih hanya kampanye kosong, karena nyatanya di lapangan sekolah/PTN hanya terbuka lebar bagi orang kaya. Pasti ada yang salah dan merupakan tanggung jawab pemerintah untuk meluruskannya. Jangan biarkan sekolah/perguruan tinggi tertutup bagi rakyat miskin, apa pun alasannya, termasuk karena alasan pengurangan subsidi bagi PTN.
Source : http://www.suarakarya-online.com/
Menanamkan karakter terhadap siswa tak segampang menanam pohon, kita tinggal menabur benih, melihat perkembangannya dan memetik hasilnya. Mengapa menanamkan karakter sangat sulit? Pada dasarnya membuat anak pintar itu mudah tetapi membuat anak berkarakter sangat sulit karena ini berhubungan dengan jiwa, dan dari latar belakang keluarga berbeda.
Sulitnya menjadikan anak berkarakter juga karena karakter yang ingin ditanam bukan sebatas nama. Karakter harus diaplikasikan ke perilaku yang sebenarnya. Seperti workshop Penyusunan Perangkat Pembelajaran Pendidikan Karakter yang diadakan LPPM Unisma belum lama ini dan diikuti guru-guru SMP/sederajat se Jawa Timur. Dijelaskan, dalam pendekatan karakter ada beberapa sesei, di antaranya mencoba berbuat, mengklasifikasi nilai yang dikembangkan menjadi memahami nilai, memilih nilai, mencoba nilai, dan membudayakannya.
Sayang dalam aplikasinya di kelas tak semudah yang dibayangkan karena ini terkait dengan karakter anak dari keluarga dan budaya beragam. Lebih penting yang perlu dilakukan guru di kelas adalah metode pembelajaran, bahan ajar, evaluasi, budaya kelas dan guru sebagai model. Demikian yang dipaparkan para narasumber dalam workshop. Dalam pengembangan karakter ini guru bisa mengambil dari berbagai cerita atau dari alam sekitar. Misalnya dalam pelajaran PKN jika guru ingin membentuk anak menjadi anak yang berkarakter peduli terhadap orang lain, guru harus mencari cerita yang menarik.
Misalnya mengamati orang-orang yang berjualan yang memiliki pendapatan sama dengan uang saku siswa setiap hari. Dengan demikian anak diharapkan peduli terhadap orang lain yang kemudian siswa bisa memahami karakter tersebut dan pada gilirannya akan akan mampu bersikap hemat dan tidak konsumtif dan berfoya-foya. Atau, contoh dalam pelajaran IPA, guru bisa mengaitkan dengan alam. Bila guru ingin memberi karakter anak mencintai kebersihan, siswa bisa diajak mengambil sampel di kamar mandi sekolah untuk dilihat kondisi kebersihan di sana. Pada gilirannya nanti anak akan belajar untuk tidak membuang sampah sembarangan. Dari pembelajaran semacam ini anak akan lebih mudah untuk membentuk karakternya. Semoga dari penyusunan perangkat pembelajaran ini anak benar-benar berkarakter.
Sulitnya menjadikan anak berkarakter juga karena karakter yang ingin ditanam bukan sebatas nama. Karakter harus diaplikasikan ke perilaku yang sebenarnya. Seperti workshop Penyusunan Perangkat Pembelajaran Pendidikan Karakter yang diadakan LPPM Unisma belum lama ini dan diikuti guru-guru SMP/sederajat se Jawa Timur. Dijelaskan, dalam pendekatan karakter ada beberapa sesei, di antaranya mencoba berbuat, mengklasifikasi nilai yang dikembangkan menjadi memahami nilai, memilih nilai, mencoba nilai, dan membudayakannya.
Sayang dalam aplikasinya di kelas tak semudah yang dibayangkan karena ini terkait dengan karakter anak dari keluarga dan budaya beragam. Lebih penting yang perlu dilakukan guru di kelas adalah metode pembelajaran, bahan ajar, evaluasi, budaya kelas dan guru sebagai model. Demikian yang dipaparkan para narasumber dalam workshop. Dalam pengembangan karakter ini guru bisa mengambil dari berbagai cerita atau dari alam sekitar. Misalnya dalam pelajaran PKN jika guru ingin membentuk anak menjadi anak yang berkarakter peduli terhadap orang lain, guru harus mencari cerita yang menarik.
Misalnya mengamati orang-orang yang berjualan yang memiliki pendapatan sama dengan uang saku siswa setiap hari. Dengan demikian anak diharapkan peduli terhadap orang lain yang kemudian siswa bisa memahami karakter tersebut dan pada gilirannya akan akan mampu bersikap hemat dan tidak konsumtif dan berfoya-foya. Atau, contoh dalam pelajaran IPA, guru bisa mengaitkan dengan alam. Bila guru ingin memberi karakter anak mencintai kebersihan, siswa bisa diajak mengambil sampel di kamar mandi sekolah untuk dilihat kondisi kebersihan di sana. Pada gilirannya nanti anak akan belajar untuk tidak membuang sampah sembarangan. Dari pembelajaran semacam ini anak akan lebih mudah untuk membentuk karakternya. Semoga dari penyusunan perangkat pembelajaran ini anak benar-benar berkarakter.
Kementerian Pendidikan Nasional mengaku kesulitan menekan jumlah siswa miskin di jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Kepala Bagian Perencanaan dan Penganggaran Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kemendiknas Nono Adya Supriatno mengungkapkan, saat ini jumlah siswa miskin di Indonesia hampir mencapai 50 juta.
Jumlah tersebut terdiri dari 27,7 juta siswa di bangku tingkat SD, 10 juta siswa tingkat SMP, dan 7 juta siswa setingkat SMA. Dari jumlah itu, sedikitnya ada sekitar 2,7 juta siswa tingkat SD dan 2 juta siswa setingkat SMP yang terancam putus sekolah.
Menurut Nono, biaya sekolah yang relatif mahal ditengarai menjadi penyebab utama tidak berdayanya para siswa miskin melanjutkan pendidikan ke tingkat selanjutnya. Kesulitan ini semakin berat dengan adanya keharusan membayar uang pangkal, membeli buku tulis, seragam sekolah, dan buku pelajaran. Hal-hal tersebut merupakan beberapa indikator pemicu biaya sekolah menjadi mahal.
"Siswa di SMP, hanya 23 persen yang mampu meneruskan ke tingkat SMA. Sisanya tidak bisa meneruskan, di antaranya ada yang terpaksa bekerja," ujar Nono ketika menjadi narasumber dalam lokakarya "Membedah Pembiayaan Pendidikan", Sabtu (23/7/2011) di Bandung.
Pada umum, menurut Nono, para siswa miskin berasal dari daerah rawan kemiskinan seperti daerah terpencil, pesisir pantai, perkampungan padat penduduk, serta sejumlah tempat di daerah aliran sungai. Untuk menekan angka tersebut, Nono mengaku sudah menganggarkan beasiswa Rp 2,1 triliun. Adapun di tingkat SMP dianggarkan dana Rp 3,9 triliun.
"Jumlah itu di luar anggaran dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang tahun ini mencapai Rp 16 triliun,” ujarnya.
Memengaruhi pendidikan tinggi
Dalam kesempatan terpisah, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) Mustasfirin menyesalkan sulitnya menekan angka siswa putus sekolah. Semakin ironis karena secara umum tingginya angka putus sekolah di jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah berpengaruh pada jumlah siswa yang akan melanjutkan ke bangku perkuliahan. Ia menegaskan, pendidikan menengah menjadi sangat penting untuk menunjukkan tiga hal. Pertama, sebagai penunjang kebangkitan kelas menengah. Kedua, sebagai pondasi pendidikan. Ketiga, sebagai wujud realisasi pembangunan pendidikan itu sendiri.
"Jadi kita sulit bicara mengenai pendidikan tinggi yang bermutu kalau pendidikan menengah tidak diperhatikan," kata Mustasfirin.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Dikti Kemdiknas Haris mengungkapkan, pihaknya selalu berharap mempunyai kualitas pendidikan tinggi sekelas Amerika. Namun, biaya pendidikan di Indonesia yang dinilainya masih sangat murah memengaruhi mutu dan daya saing Dikti. Selain itu, biaya yang murah juga menjadi kendala untuk maju.
"Jika pakai sentimental, saya juga ingin nangis dengan kondisi ini. Menggantung harapan menginjak bumi. Mencerdaskan bangsa itu cita-cita dan kita bergerak ke arah sana. Saya prihatin karena anak miskin sudah gugur di pendidikan menengah," tandasnya.
Sehari sebelumnya, Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh mengatakan, pendidikan yang bermutu harus ditunjang biaya yang sesuai. Pembiayaan pendidikan yang mahal, murah, ataupun gratis bukanlah sebuah masalah. Yang terpenting adalah tidak berimplikasi pada hak-hak dasar.
"Taruhlah wajib belajar 9 tahun, ada indikasi hak dasar. Oleh karena itu, kementerian dan pemerintah daerah harus lebih serius tangani hak-hak dasar. Pasalnya, jika biaya ini sampai di luar batas, hal itu akan berimplikasi dan mulai terkait dengan hak dasar itu sendiri," ujarnya.