SEKOLAH GRATIS, pendidikan bermutu dan terjangkau yang selama ini dikumandangkan pemerintah ternyata masih sebatas pepesan kosong. Tak mudah bagi anak-anak, remaja, dan pemuda mewujudkan impian masuk dalam jajaran siswa/mahasiswa yang diinginkan. Jangankan masuk SMA negeri favorit atau perguruan tinggi negeri (PTN), untuk mendapatkan tempat di salah satu sekolah dasar (SD) atau sekolah menengah pertama (SMP) yang dikatakan gratis, ternyata masih sebatas janji.
Jangan heran apabila di suatu sekolah SD, pengelola sekolah atau para pendidik dengan enteng berkata: "Jika orangtua atau wali murid tak ingin anak-anaknya desak-desakan di kelas, silakan cari sekolah lain. Kalau mau gratis, terimalah apa adanya." Ucapan itu cukup menyakitkan, tetapi itulah fakta. Bukan saja jauh di pedesaan, tetapi peristiwa desak-desakan di kelas kerap terjadi di seputar pusat pemerintahan, di Jabodetabek. Ruang kelas yang harusnya hanya diisi 40 murid dijejali 60 murid lebih.
Secara umum tidak mudah bagi masyarakat mendapatkan tempat bagi anggota keluarga mereka di SD dan SMP (negeri). Jika pun dapat, mutu sekolah tidak seperti diharapkan, itu pun tidak 100 persen gratis karena masih ada pungutan tidak resmi. Tak jarang para guru masih kerap memanfaatkan mencari tambahan dengan mengharuskan anak didik mengikuti les. Larangan mengadakan les di sekolah bukan hambatan.
Untuk SD, SMP, sekolah gratis di banyak daerah hanya sebatas "kulit". Program bantuan operasional sekolah (BOS) tak mampu menahan nafsu pengelola sekolah untuk tidak menarik bayaran. Apalagi di tingkat SMA, boleh dibilang tidak semua calon siswa bisa mendapatkan tempat. Selain karena alasan terbatasnya kursi, besaran pungutan juga makin tinggi, tak terjangkau oleh rata-rata rakyat Indonesia.
Tidak sulit mendapatkan bukti sekolah/bangku kuliah hanya untuk kalangan berduit. Betapa banyaknya calon murid/siswa harus menyerah, mencari sekolah lain (swasta) dengan pertimbangan asal sekolah, karena orangtua/walimurid tak mampu memenuhi uang/sumbangan sekolah di sekolah negeri.
Kehadiran sekolah berstatus rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) beberapa tahun terakhir, membuat dunia pendidikan makin jelas memisahkan antara si miskin dan si kaya. Temuan Indonesia Corruption Watch (ICW), baru-baru ini, membuktikan RSBI menjadi alasan bagi sekolah tertentu memungut biaya dalam jumlah besar tanpa pertanggungjawaban jelas, alias diselewengkan, seperti diduga terjadi di beberapa SMAN di Tambun (Jabar) dan Jakarta. Gilanya lagi, sebagian dana itu diindikasikan untuk memberikan gratifikasi bagi politikus dan petinggi dinas pendidikan daerah.
Di sektor perguruan tinggi peluang mendapatkan tempat bagi si miskin juga suatu keajaiban. Bantuan yang diberikan pemerintah pada siswa berprestasi dari keluarga kurang mampu hanya "lipstik". Otonomi kampus yang dianut PTN membuat mahasiswa/mahasiswi dari kalangan tidak mampu akhirnya mundur. Besaran sumbangan dari belasan juta rupiah hingga di atas seratus juta rupiah menjadi kendala utama. Bahkan calon siswa lewat jalur undangan (berprestasi) pun tak jarang terbentur masalah dana.
Alokasi dana pendidikan sebesar 20 persen yang disepakati pemerintah dan DPR tak lebih hanya kampanye kosong, karena nyatanya di lapangan sekolah/PTN hanya terbuka lebar bagi orang kaya. Pasti ada yang salah dan merupakan tanggung jawab pemerintah untuk meluruskannya. Jangan biarkan sekolah/perguruan tinggi tertutup bagi rakyat miskin, apa pun alasannya, termasuk karena alasan pengurangan subsidi bagi PTN.
Source : http://www.suarakarya-online.com/

0 komentar